Teknologi Mengolah Sampah | Cara lama tidak efisien | Bermula dari beasiswa | Limbah medis jadi perhatian | Teknologi Pirolisis | Mengubah Plastik Jadi Bahan Bakar Cair
Teknologi Mengolah Sampah
Masih tercampurnya berbagai sampah di Indonesia dari masyarakat yang masuk ke Tempat Pembuangan Akhir membuat Bayu Indrawan mengaplikasikan teknologi yang cepat dan efisien mengolah sampah. Tanpa perlu pemilahan yang njlimet, sampah-sampah itu dipresto dan berubah menjadi barang bernilai. Itu hanya salah satu jurusnya dalam mengelola sampah di Indonesia.
Seiring pertumbuhan penduduk, jumlah sampah pun meningkat dari waktu ke waktu. Tidak di kota atau desa, sampah sejatinya diam-diam mulai menebar ancamannya. Di kampung saya di pelosok Bantul, DI Yogyakarta, sampah mulai dikelola secara profesional. Hal yang tak terpikirkan sepuluh tahun silam.
Beberapa warga yang buang sampah di sungai menjadi pemicu. Lahan menyempit seiring bertambahnya penduduk membuat warga tak lagi leluasa membuat lubang tempat sampah di pekarangan.
Sementara di Condet, Jakarta Timur, tempat saya tinggal, spanduk untuk tidak buang sampah semba-rangan dipasang di beberapa tempat yang biasa dijadikan tempat buang sampah warga tak bertanggung jawab. Lengkap dengan sanksi yang berupa besaran denda atau kurungan penjara. Namun hasilnya tak mangkus. Justru spanduk itu yang lama kelamaan hilang, sementara sampah di situ tetap saja menumpuk.
Jika kita jeli, terlihat plastik mendominasi tumpukan sampah itu. Bendayang sebetulnya sudah populer pada pertengahan abad ke-19 dan ditemukan oleh Alexander Parkes, ahli kimia kelahiran Birmingham, Inggris, pada 29 Desember 1813, ini memang praktis sebagai wadah. Ada dua jenis kantung plastik yang umum digunakan. Tipe HDPE (High Density Polyethylene) dan LDPE (Low Density Polyethylene).
Ciri utama plastik HDPE tahan terhadap panas dengan ketebalan 0,015 mm sampai dengan 0,150 mm. Plastik jenis ini banyak sekali digunakan sebagai kantong minyak dan pembungkus makanan yang berkuah. Sedangkan LDPE (Low Density Polyethylene) berbahan fleksibel dengan kekuatan remas. Jenis ini yang biasanya di Indonesia dikenal dengan nama kantong kresek. Fungsi lainnya plastik LDPE digunakan sebagai pembungkus roti atau plastik sampah.
Di sela atau di dalam kantong plastik itu terserak sampah or-ganik. Entah sisa makanan atau bahan mentah makanan. Kom-posisi sampah seperti inilah yang kemudian diangkut petugas sampah ke tempat pembuangan akhir (TPA).
Cara lama tidak efisien
TPA yang ada di Indonesia kebanyakan masih mengandalkan pola pembuangan konvensional. Ditumpuk begitu saja. Sementara barang-barang yang masih bisa dimanfaatkan "dijarah" para pemulung yang beroperasi di seputaran TPA tersebut.
Seperti TPA Bantargebang di Bekasi yang menampung sampah dari Jakarta. Jika hanya mengandalkan model pembuangan sampah saat ini, hanya menimbunnya saja, maka tempat seluas 110 ha itu akan penuh pada 2027.
Menurut Dr. Eng. Bayu Indrawan, SE., ST., MT, peneliti dan ahli di bidang pengolahan sampah dan energi terbarukan, penggunaan paradigma lama pengelolaan sampah (kumpul-angkut-buang) tak menyelesaikan permasalahan sampah secara menyeluruh. Dengan kata lain hanya memindahkan masalah yang akan menjadi bom waktu karena keterbatasan lahan. Seperti TPA Bantargebang tadi.
TPA Bantargebang menampung sampah dari Jakarta. Sebagai Ibu Kota Indonesia, Jakarta saat ini memproduksi sampah sekitar 8.000 ton per hari. Jika ditumpuk setinggi 1 meter luasnya lebih dari lima kali lapangan sepak bola. Bisa dibayangkan apabila tetap mempertahankan metode yang ada saat ini, berapa banyak lahan yang hams disediakan untuk menumpuk sampah yang ada setiap hari.
Pemda DKI bukannya menyadari hal itu. Teknologi seperti sanitary landfill diharapkan mampu memperpanjang usia pemakaian TPA. Juga adanya 'intermediate treatment facility' (ITF) yang akan menjadi kantong sampah sementara yang akan tersebar di sejumlah lokasi di Jakarta.
Namun langkah itu tetap saja menghasilkan tumpukan sampah. Menurut Bayu, hal itu tak lepas dari dua permasalahan teknis utama mengolah maupun memusnahkan sampah di Indonesia. Pertama, kondisi sampah yang masih tercampur. Kedua, kadar air tinggi (60-70%) karena komposisi sampah organik sangat tinggi.
Idealnya apabila sampah sudah terpisah dari sumber, pengolahan-nya akan menjadi mudah dengan mendaur ulang masing-masing jenis sampah. Apabila mengguna-kan metode konvensional dengan pembakaran langsung seperti insinerator (tungku bakar), proses tidak akan eflsien karena kadar air yang tinggi tersebut.
Karena itulah Bayu menawarkan cara yang bisa mengubah sampah menjadi produk yang bermanfaat. Cara ini dapat menghasilkan produk yang bisa dikonversikan untuk menutupi biaya pengolahan sampah tersebut. Salah satunya, menggunakan teknologi hidrotermal.
Tak hanya mengenyahkan sampah, teknologi hidrotermal diklaim Bayu bisa memberi nilai tambah pada sampah dengan produk ramah lingkungannya. Seperti yang sudah dibahas di rubrik "Tekno" Intisari Juni 2018, prinsip kerja teknologi ini serupa dengan prinsip kerja presto memasak. Jika presto memasak membuat tulang-tulang ayam atau tulang ikan menjadi lembut, presto hidortermal membuat sampah menjadi produk seperti sludge (lumpur) yang hitam, homogen (seragam), tidak bau seperti sampah pada umumnya (aroma seperti kopi), dan mudah untuk dikeringkan.
Teknologi hidrotermal dapat mengkonversi berbagai jenis limbah atau sampah menjadi produk yang bermanfaat, berupa energi biomassa, pupuk (cair dan padat), serta pakan ternak. Energi biomasa yang diha-silkan berupa bahan bakar padat se-tara batubara yang ramah lingkungan.
Bayu bercerita soal dirinya menekuni teknologi hidortermal ini. Awalnya, ia memperoleh tawar-an beasiswa untuk melanjutkan studi doktoralnya di Tokyo Institute of Technology (TIT) pada 2009. Yang menawarkan adalah Prof. Kunio Yoshikawa, salah satu profesor kondang di Jepang. Saat itu, Prof. Kunio sedang mengem-bangkan teknologi pengolahan sampah tercampur (nonsegregated waste). "Ini sangat cocok diimplementasikan di negara berkembang seperti Indonesia," kata Bayu.
Dibandingkan dengan teknologi pengolahan sampah lainnya seperti komposting, insinerasi (tungku bakar), atau gasifikasi, kecocokan hidrotermal untuk diaplikasikan di Indonesia terletak pada proses yang cepat, efektif, efisien, dan ramah lingkungan. Juga bisa menyelesai-kan masalah sampah dengan komprehensif karena mengkonversi sampah menjadi produk yang me-miliki nilai tambah tinggi.
Sementara dari sisi non teknis, masih belum tingginya perhatian beberapa pihak terkait dengan pengolahan akhir sampah perkota-an, khususnya pemerintah daerah. Kebanyakan permasalahan pengolahan sampah hanya dijadikan wacana tanpa ada langkah konkrit menuju perbaikan yang signifikan.
Bayu terus mengembangkan dan menyempurnakan teknologi ini. Teknologi hidrotermal sendiri saat ini telah diimplementasikan di beberapa negara Asia, seperti Jepang dan Tiongkok. Ketika akhir 2012 Bayu kembali ke Indonesia, ia mengimplementasikan teknologi hidrotermal ini di Summarecon Serpong, Tangerang Selatan, Banten. Inilah proyek percontohan pertama di Indonesia untuk implementasi teknologi pengolahan sampah hidrotermal.
Misi besar Bayu dengan mengaplikasikan teknologi hidrotermal adalah ingin mengubah perhatian dan cara pandang masyarakat ter-hadap pengolahan sampah di TPA yang selama ini terkesan kumuh dan bau menjadi tempat sampah yang bersih dan dikelola dengan baik. Bahkan bisa dijadikan tempat rekreasi dan belajar. Memang, sudah ada beberapa TPA yang dikelola dengan baik, seperti TPA Bantar-gebang.
Proyek percontohan di Serpong, Banten itu diharapkan menjadi tolok ukur dan percontohan bagi semua pihak, baik Pemerintah Daerah maupun pengembang-pengembang kawasan lainnya di Indonesia. Jika pengembang besar bisa mengelola sampahnya dengan mandiri, maka beban Pemerintah pun akan berkurang.
Setelah sukses mengimplementasikan teknologi hidrotermal secara komersial untuk menyelesai-kan masalah sampah perkotaan, Bayu saat ini sedangberusaha meng-atasi permasalahan limbah medis. Kasus limbah medis yang dibuang ke Tempat Pembuangan Sementara (TPS) liar di Desa Panguragan We-tan, Kecamatan Panguragan, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat menja¬di pelajaran betapa sembrononya mengelola sampah rumah sakit.
Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menilai pembuangan limbah medis yang tergolong sebagai limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) di tem-pat tak semestinya itu merupakan kejahatan yang luar biasa.
Persoalan sampah lain yang ingin ditangani Bayu adalah limbah perkebunan, khususnya limbah kelapa sawit, yaitu empty fruit bunch (tandan buah kosong). Limbah ini memiliki potensi sangat besar untuk diubah menjadi biomassa dan pupuk cair.
Potensinya tentu sangat besar mengingat Indonesia dikenal sebagai pengasil minyak sawit terbesar di dunia. Lahan sawit di Indonesia tercatat 14,03 juta ha, dengan total produksi 41,98 juta ton minyak sawit (data 2017).
Sedangkan untuk sampah plastik, Bayu sudah mempersiapkan jurus lain: teknologi pirolisis (lihat boks: Teknologi Pirolisis: Mengubah Plastik Menjadi Bahan Bakar Cair). Sebenarnya teknologi hidrotermal juga mampu mengolah plastik yang ter-campur dalam sampah tercampur menjadi biomassa (bahan bakar padat).
Semakin tinggi komposisi plastik maka semakin baik kualitas biomassa yang dihasilkan karena semakin tinggi nilai kalorinya. Namun, jika sampah plastik itu sudah terpisah lebih efektif menggunakan teknologi pirolisis yang dapat mengkonversikan sampah plastik menjadi bahan bakar cair yang memiliki nilai tambah lebih tinggi.
Jurus-jurus Bayu dalam mena-klukkan sampah tadi memberikan perspektif baru dalam ujaran yang lawas: sampah bukan masalah, tapi berkah.
Dalam hai sampah plastik, Indonesia termasuk negara papan alas penyumbang sampah plaslik dunia. Menurut Kemenferiar Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KIHK), Indonesia masuk dalam peringkat kedua di dunia (187,2 juta ton) sebagai penghasil sampah plaslik ke laut setelah China (262,9 juta ton).
Jurus pengolahan sampah olaslik yang ditawarkan Bayu menggunakan mekanisme pirolisis. ini merupakan sebuah proses degradasi termal dengan cara mernanaskan plastik tanpa oksigen dalam kondisi tekanan atmosfir pada temperatur sekitar 370°C - 420°C. Pada temperatur tersebut plastik akan mencair dan berubah menjadi gas, sehingga rantai panjang hidrokarbon akan terpotong menjadi rantai pendek.
Berikutnya dilakukan proses pendinginan pada gas tersebut sehingga akan terkondensasi dan berubah menjadi cairan. Cairan inilah yang nantinya menjadi bahan bakar minyak, baik berupa minyak tanah, solar, maupun bensin. Selain itu dalam proses ini juga dihasilkan produk dalam bentuk gas yang dapat digunakan menjadi bahan bakar untuk tungku pembakaran dalam sistem tersebut maupun dimanfaatkan untuk aplikasi lainnya.
Beberapa parameter sangat berpengaruh terhadap kualitas produk bahan bakar minyak yang dihasilkan, antara lain jenis sampah plastik, temperatur, dan waktu proses. Untuk menghasilkan kualitas produk bahan bakar minyak yang lebih baik, maka dalam proses tersebut dibutuhkan katalis.
Katalis dapat terbuat dari zeolit yang bisa didapatkan dengan mudah dan harga yang murah karena di Indonesia mempunyai potensi zeolit alam yang sangat banyak.
Kualitas produk yang dihasilkan dari proses pirolis dapat disesuaikan kebutuhan, bergantung kepada jenis raw material dan katalis. Bayu sudah membangun pilot commercial plant di BSD Serpong, Banten, sejak 2014 dengan ukuran reaktor 1 meter kubik.
Artikel dikutip dari Majalah Intisari yang ditulis oleh Yds Agus Surono